Hari masih gelap, ketika Satiri pulang,
jam 4 pagi di musim penghujan,
Sebelas tahun kemudian.
Di terminal bus yang tak dikenali lagi arah jurusan pulang, di ruang tunggu itu tak bisa ia baca beberapa coretan spidol yang menyela di antara tempat duduk.
Hanya di lihatnya seorang perempuan dengan stelan kemeja kasual menaiki bus lewat pintu depan.
Dan Satiri tak tau pasti apakah perempuan itu bernyanyi di antara desau suara knalpot bus yang mulai berkarat.
Apakah ia bahagia.
Atau hanya ingin menemani seorang kakek renta yang sedari tadi duduk di antara kursi penumpang dengan tatapan menjauh.
Satiri, ia pernah kenal pagi gelap seperti ini, pagi yang dulu tak menghendakinya pulang.
Selama angin merekatkan gerimis, dengan menunduk ia tak berani menatap jauh ke depan.
Aroma kopi pada warung dekat ruang tunggu.
Aroma rokok keretek yang menyelinap di antara gerimis yang mulai pekat.
Tiga jam,terminal bus itu mulai ramai, hanya diam, sesekali Satiri menghela nafas. Dan sepertinya ia tidak bisa menemukan jalan pulang.
Ia menengadahkan wajahnya, tapi dilihatnya hujan beraroma gemuruh petir mulai menggema.
“Mungkin ia bahagia.” dengan mengernyitkan alis, kalimat itupun terucap.
Sebelas tahunpun berlalu.
Akhir Mei 2014
@teh_jeruk